Senin, 10 Mei 2010

TERIMAKASIH GURU KU

TERIMAKASIH GURU KU
Engkau bagai pelita dalam kegelapan/Engkau laksana embun penyejuk dalam kehausan / Engkau patriot pahlawan bangsa tanpa tanda jasa.
Rasa-rasanya lagu ini selalu inget di hati kita. Yup, bagi kita yang pernah mengenyam pendidikan di sekolah kayaknya nggak bakalan lupa deh sama syair lagu ini. Apalagi buat kamu yang masih duduk di bangku sekolah. Iya kan? Lagu yang kalo sekarang dinyanyikan pun harusnya tetap membuat kita menghormati para guru. Soalnya cita-cita dan harapan yang bisa kita raih sekarang ini juga ada andil dari mereka. Sekecil apa pun. Apalagi kalo besar.
Masih terbayang bagaimana kita pas pertama kali masuk sekolah, pertama kali belajar nulis. Pensil yang kita pegang ikut bergetar karena tangan kita baru melakukannya, ditambah grogi pula. Tapi guru kita di sekolah dasar itu dengan telaten mengajari dan membimbing kita dengan tanpa pernah bosen. Seorang teman malah menikmati profesi guru sebagai jalan hidupnya. Ya, memberi pelita kepada yang sedang kegelapan adalah perbuatan yang insya Allah mulia. Apalagi jika ikhlas dilakukan. Allah pasti akan memberikan hujan pahala yang deras. Sangat deras barangkali.
Boys en galz , lagu Hymne Guru ini selalu mengingatkan kita pada mereka, para guru. Perhatian, kasih sayang, dan rasa pedulinya begitu luas hingga sulit bagi lisan ini untuk mengukir kata-kata yang terindah untuk mereka. Didikan dan bimbingannya masih terekam dalam benak kita dan tiap kata yang diucapkannya banyak mengandung nasihat.
Kalo di rumah kita mendapatkan rasa itu dari ayah, ibu, dan juga kakak-adik kita. Sementara di sekolah, guru yang memberikan semua rasa itu pada kita. Rasanya tak mungkin kalo bukan karena itu semua mereka mau membimbing kita. Mereka mengajar dengan penuh perhatian, selain karena ada tujuan materi yang diinginkan dari ilmu yang diajarkan kepada kita-kita, juga insya Allah berangkat dari idealisme untuk menciptakan manusia-manusia pembelajar di masa depan. Tentu, kita-kita ini diharapkan yang akan meneruskan perjuangan membangun negeri ini sesuai bidang yang digarap dan mampu kita lakukan. Awalnya, tentu kita belajar karena ada guru di sekolah.
Kalo udah ngomongin kebaikan juga pengorbanan yang mereka berikan untuk kita sepertinya nggak ada the end -nya. Bener nggak seh? Coba aja lihat, setiap hari mereka lebih banyak luangkan waktu di sekolah mulai dari ngajar, pertemuan para guru dan mengerjakan soal-soal ditambah lagi kudu membimbing dan membina kalo ada murid yang error tingkah lakunya. Waah itu semua rasanya butuh mata yang harus awas dan tentunya waspada. Berat memang tugasnya dan juga pengorbanannya. Tapi tentu betapa mulianya menjadi guru.
Pernah kan kamu lihat murid-murid pada ngumpul pada jam istirahat? Bagi seorang guru fenomena ini tidak pernah lepas dari perhatiannya. Tentu harapan guru semoga ngumpulnya mereka membicarakan sesuatu yang baik. Bukan sebaliknya malah 'hajatan' obat. Berabe kan kalo masalah ini lepas dari perhatian guru? Makanya bagi mereka dijuluki pahlawan sudah bukan sesuatu yang langka. Emang sih bukan pahlawan dalam kisah peperangan tapi kalo baca di Kamus Besar Bahasa Indonesia istilah pahlawan itu terkait erat dengan sifat pengorbanannya. Setuju nggak? BTW, gimana neh nasib guru kita saat ini? Sejahterakah mereka? Cerahkah masa depan mereka?
Nasib guru kita
Entah, karena pemerintah menerjemahkan lirik lagu ‘hymne guru' itu secara keliru, sehingga yang dimaksud ‘pahlawan tanpa tanda jasa' itu adalah mereka yang tanpa pamrih. Sehingga nggak dihargai dengan gaji pun mungkin nggak akan melawan atau berontak. Kenapa? Ya gitu deh, namanya pahlawan tanpa tanda jasa. Menyedihkan sekali ya?
Jadi inget lagunya Bang Iwan Fals yang sangat terkenal, yakni “Oemar Bakri”. Lagu ini berkisah tentang keprihatinan terhadap nasib guru. Seorang guru bernama Oemar Bakri dalam lagu Bang Iwan Fals ini digambarkan sebagai sosok guru yang sangat mengabdi sampai usia tuanya. Tetap semangat mengajar murid-murid tercintanya meski gaji sering ‘disunat'. Tragis sekali.
Bahkan ketika murid-muridnya sudah ‘jadi orang', sosok Oemar Bakri tetap saja sederhana, dan nasibnya tak kunjung membaik. Saat ini pun kita sering mendengar kisah-kisah memilukan tentang profesi guru. Ada banyak ‘Oemar Bakri' lainnya yang kini menderita. Ya, seperti melanjutkan ‘estafet' nasib Oemar Bakri dalam lagu Bang Iwan Fals tersebut.
Salah satunya adalah kisah seorang guru yang mengajar di sebuah wilayah di daerah Gorontolo. Ibu guru kita ini bercerita di acara Kembang Api-nya API (Audisi Pelawak TPI) 14 Agustus 2005 lalu. Untuk mengambil gajinya yang menurut pengakuannya sekitar 1 jutaan itu, ia harus berangkat dari rumahnya jam 5 pagi, dan baru sampai di kota tujuan untuk mendapatkan gajinya sekitar jam 8 malam. Wuih, jauh banget tuh (berapa kali ganti sendal ya?). Untuk menempuh perjalan jauh itu, 200 ribu rupiah katanya harus dikeluarkan. Kita bisa bayangin sendiri gimana memprihatinkannya nasib guru di daerah.
Kalo di kota mungkin masih agak-agak bisa terobati kali ye? Misalnya untuk menambah biaya dapur, bisa jadi tukang ojeg. Ini juga ada kisah memilukan tentang seorang guru. Saya melihatnya di Trans TV dalam acara Good Morning yang dipandu Ferdy Hassan dan Rieke ‘Oneng' Dyah Pitaloka. Dalam salah satu laporannya, ada seorang guru di Bekasi yang nyambi jadi tukang ojeg. Maklum guru honorer. Jika tak salah dengar gajinya sekitar 400 ribuan gitu deh per bulannya.
Ini memang baru satu kasus, entah kasus lainnya yang tak terberitakan. Wallahu'alam . Tapi meski hanya satu atau beberapa kasus yang bisa dihitung dengan jari, tentunya ini adalah sebuah musibah. Ya, musibah bagi profesi pengajar yang dengan ilmunya menjadikan kita-kita bisa belajar dan bahkan bisa lebih pinter dari mereka dan nasib kita barangkali juga ada yang lebih baik dari mereka.
Kita yakin juga kok, bahwa nasib guru yang agak-agak lebih baik atau mungkin sangat baik juga ada. Tapi jumlahnya tak sebanyak yang ‘merana'. Tentunya harus ada perhatian dan juga tindakan nyata dari pemerintah untuk memikirkan solusi dari nasib guru dan juga masalah pendidikan ini.
Ini memang harus diupayakan untuk segera ditangani. Maklum saja, waktu terus berjalan dan roda kehidupan juga butuh energi untuk menggerakkannya. Jika nasib guru terus memburuk, khawatir idealisme sebagai pengajar juga akan pudar. Tergerus oleh naluri untuk mempertahankan hidup. Idealismenya dikalahkan oleh urusan perut. Itu sebabnya, jangan salahkan pula jika banyak dari kita sudah tak punya cita-cita untuk menjadi guru. Karena melihat nasib para guru (secara umum) yang mengenaskan.
Kenapa ini terjadi?
Sobat muda muslim, kita jadi berpikir lebih jauh, ada apa sebenarnya dengan kondisi guru? Separah inikah nasib “pahlawan tanpa tanda jasa”? Mengapa ini bisa terjadi? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini bisa terus menghantui kita dan berusaha mendapatkan jawaban yang benar dan masuk akal.
Memang sih, masalah di negeri kita bukan hanya soal guru. Bukan hanya soal pengangguran, bukan pula sekadar masalah kriminal yang kian menggila. Masalah di negeri kita banyak sekali. Saking banyaknya, rasanya tak akan cukup dituliskan secara lebih detil di buletin kesayangan kamu yang cuma empat halaman ini.
Jika kita melihat lebih dalam (sumur kale!), tentu kita berpikir bahwa kondisi masyarakat ini tak bisa lepas dari sistem kehidupan yang mengendalikannya. Apakah akan bergolak atau tetap dingin, sistemlah yang mengaturnya. Ambil contoh air yang ada di tempayan. Jika tidak dipanasi dengan api ia tidak akan bergolak. Tetep dingin. Nggak bereaksi sedikit pun.
Air yang ada di lemari es, karena dikondisikan oleh ‘sitem pendingin' dari kulkas itu, maka ia akan menjadi dingan dan bahkan beku. Di sinilah sebuah sistem berperan besar.
Itu sebabnya, jika melihat fakta saat ini, ternyata dalam kehidupan negara yang menerapkan kapitalisme-sekularisme, asas manfaat yang disandarkan pada materi menjadi tolok ukur. Memang sangat kompleks untuk menjelaskan tentang sistem kapitalisme. Mungkin saja memerlukan berlembar-lembar halaman. Tapi di sini kita ‘bicara' singkat aja. Semoga mengena. Oke?
Kita lebih melihat fakta dari diterapkannya kapitalisme di sini, bahwa pemerintah lebih memfokuskan perhatiannya kepada sektor-sektor yang cepat menghasilkan duit (itu pun jika tidak dikorupsi pejabatnya). Dalam satu kasus saja, misalnya program pemberdayaan guru dan peningkatan kesejahteraannya sering hanya berhenti di seminar-seminar saja. Nyaris realisasinya tak terwujud di lapangan. Menyedihkan.
Tapi sebaliknya, pemerintah kelihatan sangat getol jika ada proyek-proyek yang cepat mendatangkan uang, seperti eksplorasi minyak bumi, izin untuk tempat-tempat hiburan, pelacuran, perjudian, pabrik minuman keras, dan bahkan ‘tutup mata' terhadap peredaran narkoba. Tentu untuk beberapa kasus ada yang ditindak juga, tapi biasanya itu yang nggak mendapatkan izin dan nggak ‘nyetor' upeti.
Coba aja dipikirin deh, daripada bikin lokalisasi pelacuran, komplek perjudian dan ‘melindungi' peredaran narkoba, anggarannya kan bisa dipake untuk kesejahteraan guru. Jangan sampe guru yang kesulitan mengepulkan asap dapurnya karena gajinya rendah ikutan-ikutan masang nomer cantik pembawa hoki di arena judi togel.
Menyoroti nasib guru ini, Ketua Umum Persatuan Guru RI, Muhammad Surya menyampaikan, “Apa pun yang diperjuangkan untuk perbaikan kesejahteraan guru berpulang pada sejauh mana komitmen penyelenggara negara terhadap pendidikan. Studi banding kemana pun jika tidak mengedepankan kepentingan pendidikan itu sendiri maka percuma” (Koran Tempo, 5 Agustus 2005)
Sobat muda muslim, masalah ini memang kompleks banget. Satu-satunya jalan adalah dengan mengubah kondisi yang ada supaya menjadi lebih baik. Selama sistem yang mengkondisikan kehidupan ini tidak kita enyahkan, maka selama itu pula kita akan tetap terkurung dalam arus kehidupan yang membuat kita semua menderita lahir-batin.
Ini insya Allah nggak akan terjadi jika kita mau menerapkan aturan Islam yang akan mengatur kehidupan bermasyarakat dan bernegara ini. Yakin itu.
Untukmu guruku
Semoga saja, nasib guru menjadi lebih baik di masa-masa yang akan datang. Kita sendiri baru bisa mendoakan dan sedikit memberi solusi. Namun, solusi yang baru bersifat wacana ini membutuhkan dukungan dari pemerintah untuk merealisasikannya. Sebab, tanpa peran mereka, harapan kita untuk meningkatkan kesejahteraan hidup para guru tak akan pernah terwujud. Karena jasa guru termasuk berharga bagi kemajuan sebuah peradaban. Pemerintah harus menghargai para pendidik dan memajukan dunia pendidikan.
Itu sebabnya, amat wajar bahwa kita pantas dan layak untuk menyampaikan ucapan terima kasih kepada guru kita semua. Ijinkan kami memberikan tanda cinta kami yang tak pernah luntur oleh waktu. Guruku, ketulusan dan keluasan ilmumu yang berguna selalu kau limpahkan untuk bekalku nanti. Bila masih bisa mulutku berbicara kukatakan padamu: terima kasih guruku.
Dan, semoga saja pemerintah bisa mewujudkan niat baiknya untuk menghormati, menghargai, dan memberikan yang terbaik untuk para guru sebagai tanda cinta dan rasa terima kasih yang amat dalam. Semoga Allah memudahkan niat dan langkah baik kita. Amin.
Tapi, rasanya sangat sulit terwujud jika pemerintah masih menerapkan kapitalisme. Saatnya menjadikan Islam sebagai ideologi negara. Siap kan?

Selasa, 04 Mei 2010

Jadikan Aku Sahabatmu


Ngomongin soal sahabat, nggak kalah serunya ama nonton lega calcio atau bundes-liga . Kita pasti punya segudang cerita yang beda-beda. Kalo dibikin novel, mungkin Kamus Besar Bahasa Indonesia juga kalah tebelnya. Soalnya mereka punya ciri dan karakter sendiri-sendiri. Ada yang jahat, sinis bin jayus, ada juga yang baek van solider. Malah ada yang sering jadi OP alias objek penderita sepanjang masa (kayak Nobita aja!). Orang sastra bilang, “friends are the flowers in the garden of the heart ” ciieee…

Saking beragamnya sifat temen-temen kita, pengalaman pahit bersama mereka pun punya tempat dalam diary kita. Bisa jadi karena ada temen yang nggak bisa jaga rahasia atau nggak solider, kita bisa ngambek berhari-hari tuh. Malah sampai ada yang trauma en nggak mau temenan lagi. Jadi kesannya aku banget, egois, individualis, dan antisosial. Seperti penilaian Cinta pada Rangga yang diperankan Nicholas Saputra. Tapi, apa iya kita bisa jalanin hidup tanpa teman atau sahabat?

Padahal ada pepatah “ hidup tanpa teman, mati pun sendiri ”. Gak ada yang ngurusin, mandiin, nyolatin, atawa nganterin ke rumah masa depan berbatu nisan. Iih… emangnya tikus got apa gak ada yang peduli. Nggaaak..eh, tidaaak!

Enaknya punya sahabat

Percaya nggak percaya, ternyata waktu kita lebih banyak dihabiskan bersama teman yang bikin nyaman perasaan. Bukan cuma sejam-dua jam tapi bisa sampai seharian. Meski orangnya berganti-ganti, tetep statusnya temen. Ada temen maen di rumah, temen sekolah, temen kursus, temen di kost-an, temen nongkrong, sampai temen di dunia maya (bukan Mayasari Bhakti lho! Itu mah bus atuh!) yang biasa gabung dalam komunitas mailing list atau chatting room . Pokoke tiada hari tanpa kehadiran seorang teman. Yes!

Punya temen emang asyik. Mereka yang bikin hidup kita indah, berwarna, dan rasanya serame Nano-Nano . Di mana pun dan kapan pun, kita akan ngerasa kesepian kalo nggak ada temen. Pas lagi ada masalah, mereka rela mengorbankan waktu, tenaga, dan pikirannya untuk membantu mencari jalan keluar. Pas lagi bete, mereka ikhlas jadi tempat sampah menampung segala keluh kesah kita. Pas lagi kena musibah, mereka yang meniupkan semangat hidup. Seolah mereka stand by 24 jam untuk membantu kita. Persis petugas pemadam kebakaran.

Pernah denger ‘teman imajinasi' yang biasa dimiliki anak kecil? Itu salah satu bukti kalo siapa pun butuh teman. Saat adik kecil kita nggak punya teman, mereka mencip-takannya dalam imajinasi. Tempat doi bebas ngomong apa aja. Sama kayak kita. Maka nggak usah heran bin merinding kalo ngeliat anak balita ngomong sendiri atau asyik ngobrol ama bonekanya. Kadang mereka cuma perlu orang yang mau dengerin cerita mereka.

Nggak salah dong kalo punya teman itu enak sekaligus kebutuhan. Jadi nggak egois, tapi belajar untuk berbagi. Rugi banget kalo kita nggak punya teman. Masak kalah ama anak kecil... (*ngomporin neh ceritanya)

Berburu sahabat sejati?

Sobat muda muslim, kita sering temenan dengan orang lain karena punya kepentingan yang sama. Karena kesamaan hobi, tempat nongkrong, makanan favo-rit, atau tipe lawan jenis. Jadi klop. Ngomong apa pun nyambung.

Karena itulah remaja sering kedapetan mendeklarasikan nama gank -nya. Nggak afdhol kalo sering ngumpul tapi nggak punya identitas. Maka jangan heran ngeliat coretan pylox berwarna bertuliskan nama-nama gank remaja. Biar orang pada kenal.

Ada anak cowok yang tergabung dalam gank ‘anak haram'. Eit.…jangan su'udzhon dulu ya. Mereka bukan fans club sinetron yang dibintangi Dhea Ananda lho. Mereka kelompok para pelajar yang biasa nunggu angkot di Halte Ramayana yang disingkat ‘haram'. Wacks? Ada juga lho anak cewek bikin gank bertajuk ‘cicil' (Cewek Imut, Cantik, nan Centil). Kayak kelompok Dina Olivia, Nirina Zubir, dan Maria Agnes dalam 30 Hari Mencari Cinta . Huhuy!

Kalo udah nge-gank, persahabatan seolah udah sampai level sejati. Saling curhat di antara mereka udah jadi keharusan. Teman udah jadi pimpinan klasemen untuk urusan sumber informasi dan biro konsultasi, biasanya konsul seputar lawan jenis, hobi, masalah dengan teman lain, juga masalah dengan keluarga.

Ada juga yang ikut-ikutan gabung ama gank sebagai simbol status. Siapa yang nggak ngerasa bangga bin hebat temenan dengan anak borju, anak basket, cheer leader , anak nongkrong, pelajar preman, atau anak pinter. Adakalanya, para anggotanya kudu unjuk gigi sampai over acting biar sama ama yang laen n tetep diterima. Walah, kirain cuma kacang aja yang lupa ama kulitnya?

Sayangnya, persahabatan karena kesamaan kepentingan atau nyari simbol status kayak gini rawan per-pecahan. Suka ada tekanan dari temen kalo nggak setuju ama yang lainnya. Orang psi-kologi bilang Peer Pressure alias tekanan teman sebaya. Sehingga hard to say no meski itu bertentangan dengan hati nura-ni, norma masya-rakat, dan aturan Islam.

Dari sinilah awalnya remaja mulai kenalan ama narkoba, terlibat tawuran, aksi kriminal, atau seks bebas. Karena takut nggak ditemenin dan nggak punya temen. Mereka nggak bisa terima lagi kalo ada temennya yang insyaf, terus antigaul bebas, apalagi sering ngingetin kelakuan temen lain yang nggak islami. Kalo kejadian, orang insyaf itu bakal dimusuhin. Malah ada yang pake hukuman segala. Dianggap telah melanggar kesepakatan kelompok. Persis kayak persahabatan orang-orang di Barat sono.

Kalo udah kayak gini, cuma persahabatan semu yang ngikutin hawa nafsu yang bakal ditemui. Bukan tempatnya bagi kita yang berburu sahabat sejati. Betul?

Pesahabatan sejati ada dalam Islam

Sobat muda muslim, persahabatan sejati adalah sesuatu yang indah karena ia tidak mudah untuk dilupakan plus tidak mudah untuk diciptakan. Nggak gampang dilupain karena banyak kenangan yang nempel terus di memori otak kita. Sulit diciptakan karena faktanya perlu waktu lama untuk dapetin sahabat sejati. Sheila on Tujuh banget neh!

Kita gampang punya teman, tapi perlu proses yang panjang untuk dapetin seorang sahabat. Teman mungkin cuma luarnya aja, tapi sahabat, dalem baaanget. Apalagi di tengah merajalelanya pemikiran dan budaya Barat yang rusak. Tapi kamu jangan takut duluan untuk jalin persahabatan. Siapa pun pantas jadi sahabat kita. Asal kita punya prinsip yang jelas bin shohih dalam berteman. Biar kita bisa jaga diri. Karena temen pengaruhnya gede banget ama diri kita. Sabda Rasulullah: “Orang itu mengikuti agama teman dekatnya; karena itu perhatikanlah dengan siapa ia berteman dekat”. (HR Tirmidzi)

Nah, sekarang kita udah punya target siapa yang mo dijadiin sahabat. Temenan ama orang-orang yang baik agamanya bakal untung dunia-akhirat. Gimana nggak, dia selalu ngingetin kalo kita khilaf sebagai wujud rasa sayangnya. Kalo ada temen yang diem aja saat kita nggak tahu jalan, padahal di depan ada ju-rang, dia nggak pantas jadi sahabat kita. Betul?

Seorang sahabat nggak cuma bisa ngingetin dan ngasih nasihat doang, ia juga berkewajiban menolong saudaranya sesuai kemampuannya. Hal ini yang banyak dicontohin oleh para sahabat pada peristiwa hijrahnya Ra-sulullah dari Mekkah ke Madinah.

Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Kitab al-Bidayah jilid 3, halaman 228, bahwa saha-bat Anas ra mence-ritakan, “Ketika Abdurrah-man bin Auf ra berhijrah ke Madinah, Ra-sulullah saw. mem-persaudarakannya dengan Sa'ad bin al-Anshari ra. Kemudian Sa'ad berkata kepada Abdurrahman bin Auf, ‘Wahai saudaraku! Aku adalah salah seorang yang kaya di Madinah. Lihatlah! Ini adalah setengah dari harta kekayaanku, ambillah! Aku juga memiliki dua orang istri. Aku akan menceraikan salah seorang di antara mereka yang lebih engkau sukai, sehingga engkau bisa menikah dengannya.' Abdurrahman bin Auf menjawab, ‘Semoga Allah memberkahi keluarga dan kekayaanmu. Tapi, tunjukkan saja kepadaku jalan menuju ke pasar, agar aku dapat mencari peruntunganku dengan kedua tanganku sendiri.'

Bener kan, kalo persahabatan sejati cuma ada dalam Islam. Jadi nggak usah pikir-pikir untuk berburu sahabat sejati di mesjid, majelis taklim atau tempat-tempat pengajian. Karena di sana bercokol orang yang pantas kita jadikan shahabat. Di dunia maupun di akhirat alias di surga. Masak nggak kepengen?

Menjadi sahabat sejati

Sobat muda muslim, kalo ‘buruan' kita nggak dapet-dapet, nggak ada ruginya kita belajar untuk menjadi sahabat sejati buat temen kita. Dengan begitu nggak mustahil kalo sahabat dambaan kita datang dengan sendirinya. Dari teladan Rasulullah dan para shahabat, beberapa hal bisa kita ambil untuk menjadi sahabat sejati.

Biar ikatan persahabatan gak gampang putus, kita kudu sabar. Yakin deh, no bodys perfect . Gak ada manusia yang sempurna di dunia ini. Namanya juga manusia, tempatnya salah dan lupa. Kalo dia salah, kita selidiki dulu kenapa dia berbuat salah. Bisa jadi lupa atau lagi ada masalah. Jadi lebih obyektif kalo mo ngingetin atau nasihatin. Nggak maen vonis, emangnya hakim. Dengan begitu kita berharap, hal-hal yang bisa bikin ‘rame' kayak salah paham atau nggak menghargai kesalahan temen bisa dikurangi. Kata Rasulullah: “ Jangan saling membenci, jangan saling memusuhi, jangan saling mendengki, dan jangan memu-tus hubungan. Jadilah kalian hamba Allah yang saling bersaudara. Tidak diper-bolehkan seorang Muslim memboikot sesamanya selama lebih dari tiga hari.” (HR Muslim dan Tirmidzi)

Kepercayaan dalam sebuah persahabatan juga mutlak diperlukan. Temen kita bakal dendam kalo kita jadi ‘ember'. Ngebocorin rahasia atau aibnya. Bukannya kita cuek, tapi cukup kita aja yang tahu, terus ngingetin dan nggak lupa ikut bantu atasi kekurangannya. Sabda Rasul: “Siapa saja yang menyembunyikan (aib) seorang muslim, maka Allah akan menyem-bunyikan (aibnya) di dunia dan akhirat. Allah akan menolong seorang hamba yang gemar menolong saudaranya. (HR Muslim)

Untuk mengokohkan ikatan persahabatan Rasulullah menganjurkan agar kita saling memberi hadiah atau mengucapkan salam saat bertemu. “ Tidaklah kalian akan masuk surga sampai kalian beriman, dan tidaklah kalian (benar-benar) beriman hingga kalian (saling) mencintai. Sukakah kalian jika aku tunjukkan sesuatu yang bila kalian lakukan akan membuat kalian saling mencintai? Sebarkanlah salam di antara kalian . (HR Muslim)

Trus gimana dengan yang nonmuslim? Cukup jadikan mereka sebagai teman. Levelnya bakal naik jadi sahabat sekaligus sodara saat mereka mengucapkan syahadatain. Oke?

So, dalam hidup kita emang kudu punya teman dan sahabat. Kita udah cukup gede untuk berburu sahabat sejati yang bisa menambah keterikatan kita dengan Islam. Mengingatkan kita kepada Allah. Sekaligus menjadi kekuatan untuk melawan pengaruh buruk budaya Barat yang bebas berkeliaran di sekitar kita.

Oya jangan lupa, tetep pake aturan gaul Islam. Cowok temenan ama cowok. Yang cewek juga. Kalo cewek-cowok pengen jadi sahabat sejati, syaratnya kamu kudu berani ungkapin keinginan itu di depan petugas KUA. Lalu dilengkapi mahar, wali temen cewek, plus saksi-saksi. Hehe.. (itu mah namanya nikah dong?)

Oke deh, jangan malas dan malu jadi sahabat baik teman kita. Bisa nunggu, bisa juga kitanya yang duluan jadi baik buat sahabat kita. GImana? Jadi, jalin persahabatan, ting-galkan permusuhan! Siapa tahu nanti banyak yang bilang: “Jadikan aku sahabatmu”

Orang Tuaku Teladanku


Punya orangtua yang bisa dijadiin teladan adalah keinginan kita semua. Tentu senangnya bukan main ya kalo ortu udah bisa dijadiin teladan bagi anak-anaknya. Kita juga bakalan malu dong kalo harus merendahkan mereka. Sebaliknya kita akan menghormatinya, mencintainya, dan juga menyayanginya. Rasanya tentram banget kalo kita punya ortu yang bisa ngertiin kita-kita, peduli, penuh kasih sayang, dan tentunya terus memberikan dukungan buat kemajuan kita. Apalagi jika ortu kita membimbing, mengarah-kan, dan membina kita dengan benar dan baik dalam bingkai ajaran agama. Wuih, rasanya kita bisa menatap masa depan ini dengan penuh rasa percaya diri. Dunia dan akhirat bisa kita raih dengan penuh semangat.

Sobat muda muslim, perasaan terdalam dari kita-kita sebagai remaja memang menginginkan contoh dan teladan dari orang-orang terdekat dalam keluarga kita. Mereka adalah orangtua kita. Bener lho. Sebab, bukannya kita manja, meski kita udah gede sekalipun tetep aja butuh perhatian dari orangtua. Nggak kebayang deh kalo orangtua kita malah cuek bebek aja ama perkembangan anak-anaknya. Jangan sampe deh ortu kita begitu rupa. Amit-amit jabang bayi. Bisa seumur-umur tuh nyeselnya.

Tapi, menyaksikan kondisi kelurga muslim saat ini rasanya sedih banget deh. Gimana nggak, dengan alasan mengejar kemapanan ekonomi keluarga, acapkali orangtua pada sibuk dengan urusannya masing-masing. Ayah sibuk bekerja, sementara ibu juga sibuk dengan pekerjaannya atau mungkin usahanya yang sering di luar rumah. Kehadiran anak-anak yang lucu dan imut cuma mampu menghibur di kala sepi aja. Sebagian malah dibiarkan tumbuh dengan warna karakter yang apa adanya.

Emang sih, bukan berarti kaum ibu nggak boleh sama sekali bekerja. Silakan aja, selama bisa mencurahkan kasih sayang dan perhatian yang lebih kepada buah hatinya. Repotnya emang kalo kondisi ekonomi keluarga ngepas banget. Mau nggak mau ibu juga ikutan banting-tulang nyari tambahan untuk mengepulkan asap dapur.

Nah, kalo bicara kondisi sekarang bisa kena dilema. Khususnya bagi keluarga yang pas-pasan dari segi penghidupan ekonominya. Kalo di rumah aja cuma ngurus anak, alamat berkurang pemasukan untuk menopang kebutuhan keluarga. Apalagi yang anaknya banyak. Bisa kebayang gimana repotnya. Kalo ikutan kerja bantu suami, anak-anak bisa berkurang mendapatkan kasih sayang.

Dalam kondisi seperti ini, bisa saja ibu bekerja membantu ayah, tapi tolong juga perhatikan anak-anak. Itu sebabnya, mungkin jenis pekerjaannya yang bisa diakalin supaya nggak menyita banyak perhatian buat anak-anaknya. Misalnya buka warung, mengajar anak-anak TPA, atau kecil-kecilan jualan kue hasil kreasi sendiri, mungkin juga belajar punya kete-rampilan menjahit dan jenis pekerjaan lain yang sekira-nya bisa tetap memantau perkembangan pribadi anak-anak. Boleh juga tuh bagi para ibu yang kebetulan sarjana, bisa aja buka usaha les privat, atau mengajar di sekolah atau perguruan tinggi dengan jam pelajaran yang nggak banyak dalam seharinya.

Ya, itu semua memang butuh pengorba-nan. Membekali anak-anak dengan keimanan, kedisiplinan, dan tanggungjawab jauh lebih berharga ketimbang membekali mereka dengan harta semata. Pengorbanan yang diberikan para ortu insya Allah bermanfaat bagi anak-anaknya. Kita yakin kok, semua orangtua ingin agar anak-anaknya juga tumbuh dewasa dengan pribadi yang matang, kuat, punya tanggung jawab, dan tentunya taat beragama.

Sobat muda, yang dibutuhkan saat ini adalah bagaimana mengkomunikasikan harapan kita kepada ortu kita. Tul nggak?

Kita butuh perhatian

Kita ingin perhatian dan kepedulian lebih banyak diberikan sama ortu. Bukan apa-apa, perhatian dan kepedulian ini jauh lebih berharga ketimbang harta benda. Sebab, kita anak-anaknya, nggak mau cuma dianggap sebagai bilangan aja, tapi juga ingin diperhitungkan.

Tegur-sapa, canda-tawa, dan juga me-nanyakan tentang hal yang ringan, bisa menumbuhkan kebersamaan. Bahkan kita bisa belajar saling menghargai perbedaan. Juga saling memahami kekurangan dan kelebihan masing-masing. Nggak mustahil kan kalo kemudian terjalin ikatan batin yang kuat dan kokoh di antara anggota keluarga?

Sobat muda muslim, perhatian dan kepedulian dari orangtua akan mampu memberikan semangat hidup bagi kita. Sepertinya tak ada batas antara ortu dengan kita. Yang ada hanyalah jembatan kasih sayang yang tumbuh dari perhatian setulus hati. Komunikasi kita dengan ortu nyaris tak ada hambatan, jika semuanya dilandasi dengan kepercayaan dan pengertian.

Dorothy Law Nolte menuliskan sebuah puisi indah yang menceritakan hubungan pendidikan orang tua dengan pembentukan karakter anak-anak. Sengaja saya cuplikkan sebagai bahan renungan kita bersama:

Anak Belajar dari Kehidupannya

Jika anak dibesarkan dengan celaan,
Ia belajar memaki.
Jika anak dibesarkan dengan permusuhan,
Ia belajar berkelahi.
Jika anak dibesarkan dengan cemoohan,
Ia belajar rendah diri.
Jika anak dibesarkan dengan penghinaan,
Ia belajar menyesali diri.
Jika anak dibesarkan dengan toleransi,
Ia belajar menahan diri.
Jika anak dibesarkan dengan dorongan,
Ia belajar percaya diri.
Jika anak dibesarkan dengan pujian,
Ia belajar menghargai.
Jika anak dibesarkan dengan sebaik-baiknya perlakuan,
Ia belajar keadilan.
Jika anak dibesarkan dengan rasa aman,
Ia belajar menaruh kepercayaan.
Jika anak dibesarkan dukungan,
Ia belajar menyenangi dirinya.
Jika anak dibesarkan dengan kasih-sayang dan persahabatan,
Ia belajar menemukan cinta dalam kehidupan.

(diambil dari Psikologi Komunikasi , Jalaluddin Rahmat. Hlm. 102-103).

Bila anak tumbuh menjadi liar, keras, pendendam, dan tidak punya sikap penyayang. Tentu tidak muncul begitu saja. Barangkali para orangtualah yang merekayasa semuanya. Duh, jangan sampe deh.

Tapi, tentunya kita nggak bisa menya-lahkan sepenuhnya bahwa ini adalah hasil kreasi para ortu. Kondisi kehidupan di alam kapi-talisme-sekularisme seperti saat ini, yang telah menciptakan kebejatan dan ikut menyumbang bobroknya kepribadian masya-rakat dan individu di dalamnya.

Meski demikian, peran orangtua sebagai pemimpin dalam keluarga tetep diperlukan. Tentunya dibutuhkan sebagai langkah awal pencegahan dalam rangka mendidik generasi unggulan ini. Setuju kan? Itu sebabnya, kita tetap mengharapkan hubungan yang baik antara ortu dengan anak-anaknya. Dan itu dimulai dari ortu. Aduh uenake kalo ortu kita jadi teladan dalam hidup kita.

Belajar saling mencintai

Sobat muda muslim, bisa jadi kita perlu ngobrol dan mendiskusikan sama ortu kita bahwa pengorbanan yang mereka berikan kepada kita, anak-anaknya adalah bernilai ibadah di sisi Allah. Tentunya berpahala dong.

Ada sebuah riwayat menarik mengenai hal itu. Diriwayatkan bahwa ada seorang seorang perempuan miskin datang menemui Aisyah r.a. “Ia membawa dua orang anak perem-puan. Aku memberikan tiga butir kurma kepadanya. Ia memberikan dua butir kurma kepada anaknya. Ia bermaksud untuk memakan sisanya. Tetapi kedua orang anaknya berusaha mere-butnya, sehingga kurma itu pun jatuh dari tangannya. Akhirnya, perempuan itu tidak makan kurma satu butir pun. Aku terpesona dengan perilaku perem-puan itu. Aku ceritakan peristiwa itu kepada Rasulullah saw. Ia bersabda; “Barangsiapa yang mendapat ujian atau menderita karena mengurus anak-anaknya, kemudian ia berbuat baik kepada mereka, maka anak-anaknya akan menjadi penghalang baginya dari siksa neraka.” (H.R. Bukhari, Muslim, dan Turmudzi) .

Duh, kita mengharapkan banget ortu kita bisa membimbing kita untuk menemukan kebenaran Islam. Itu sebabnya, mungkin mulai sekarang bisa diobrolkan dengan ortu kita tentang tanggung jawabnya itu. Yup, tentu bukan orangtua yang baik yang meninggalkan anak-anaknya dalam keadaan lemah. Baik iman, ilmu dan harta. Kita, membutuhkan semuanya.

Suatu ketika Luqmanul Hakim bercakap-cakap dengan anaknya. “Wahai ayah, apa yang terbaik bagi manusia?”

“Agama,” jawab Luqman.
“Kalau dua?”
“Agama dan harta.”
“Kalau tiga?”
“Agama, harta dan rasa malu.”
“Bila empat?”
“Agama, harta, rasa malu dan akhlak yang mulia.”
“Jika lima?”
Agama, harta, rasa malu, dan akhlak yang mulia dan dermawan.”
Anaknya bertanya lagi, “Jika enam?”

Luqman menjawab, “Anakku, jika yang lima itu berkumpul pada diri seorang hamba maka dia adalah orang yang bertakwa, dan Allah akan menolong orang yang menjauhi syetan.”

Andai para ibu seperti yang diceritakan dalam hadist tadi, dan juga para ayah seperti Lukmanul Hakim, kebanggaan kita besar banget kepada mereka. Dialah ortu teladan kita. Subhanallahu. Tapi kita yakin kok, bahwa para ortu sekarang juga bisa belajar dari para ortu teladan yang tadi disebutkan. Insya Allah. Kuncinya, coba kita ajak ortu untuk sama-sama belajar saling mencintai. Meski untuk saling mencintai tak ada seko-lahnya, tapi kita wajib belajar untuk bisa men-cintai dengan benar. Setuju kan?

Menjalin komunikasi

Peran komunikasi me-mang besar dalam menjalin hubungan antar manusia. Salah komunikasi maka akibatnya juga bisa fatal. Lebih parah lagi kalo nggak ada komunikasi sama sekali. Termasuk komunikasi dalam keluarga. Hih, bayangin aja kalo para penghuni sibuk dengan urusannya masing-masing. Bisa-bisa tuh rumah nggak ada bedanya dengan kuburan. Sepi dan mencekam. Emang sih komunikasi bisa dengan tanda atau gambar, tapi alangkah enaknya kalo juga dengan obrolan. Biar terikat bathin satu sama lain. Betul? Yup, seratus buat kamu! :-)

Dengan komunikasi kita juga jadi ngeh ama yang diingkan partner kita. Kita juga bisa mengelola informasi yang baik dengan ortu kita. Hasilnya? Wuih, bisa bikin senang kalo kita tinggal di rumah.

Kalo pun marahan sama ortu, kita bisa mendiskusikannya dengan baik. Tul nggak? Berbeda pendapat soal keinginan itu wajar. Tapi jadi nggak wajar kalo sama-sama ngotot. Misalnya aja soal tontonan televisi. Kebetulan tayangan yang kamu suka dengan tayangan yang ayahmu suka sama jamnya. Kita udah kebelet pengen nonton David Beckham main bola, eh, bapak kita lebih suka nonton wayang kulit. Tivi cuma satu lagi.

Waduh, kalo sama-sama ngotot bisa berabe tuh. Coba deh obrolin. Kali aja bisa dise-pakati untuk pindah chanel tiap sepuluh menit. Kalo ayahmu nggak bisa diganggu, ya, kamu kudu ngalah. Itu lebih baik. Membiarkan ayah kamu terhibur dengan hobinya kan berpahala juga. Tul nggak? Nggak usah marahan. Oke?

Kita wajib menghormatinya dan nggak boleh sama sekali membencinya. Allah Swt. berfirman: Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. (TQS al-Isrâ' [17]: 23)

Sobat muda muslim, mulai sekarang mari kita jalin kerjasama dengan ortu kita. Supaya ngeh dengan peran masing-masing. Kita butuh ortu teladan, dan kita yakin ortu juga ingin anak-anaknya berbakti kepada mereka. Jadi, ayo jalin komunikasi yang sehat untuk menumbuhkan rasa saling peduli, kasih sayang, dan juga cinta dalam bingkai ajaran Islam. Insya Allah bisa kok itu semua kita jalani. Yakinlah.